Kamis, 18 Februari 2016

Budidaya-Tiram-Mutiara-Cara-Membudidayakan-Tiram-Mutiara-Laut-Pinctada-Maxima

Potensi Pembenihan Tiram Mutiara


       Salah satu potensi besar yang ada di perairan Indonesia yang mempunyai prospek cerah untuk dibudidayakan adalah tiram mutiara (Pinctada maxima). Tiram mutiara merupakan salah satu komoditas dari sektor kelautan yang bernilai ekonomi tinggi dan memiliki prospek pengembangan usaha di masa mendatang (Paonganan, 2000). Mutiara yang dihasilkan di Indonesia terkenal dengan jenis Mutiara Laut Selatan (South Sea Pearl) merupakan jenis mutiara yang terbaik kualitasnya di dunia (Poernomo, 2010).
     Harga mutiara jenis South Sea Pearl yaitu US$ 100-200 per gram untuk kualitas terbaik (Supriyadi, 2010). Pemasaran tidak tergantung pada biji mutiara, namun permintaan antar pengusaha lebih tertarik pada anakan larva antara 4-6 cm dan dewasa 7 cm hingga siap operasi inti. Harga tiram mutiara hidup ukuran dewasa (6–12 cm) bervariasi antara Rp. 3000,- - Rp. 4.000,- / cm (Hamzah, 2010).

       Data dari World Cultured Pearl Organization (WCPO, 2009) pada tahun 1999 devisa ekspor mutiara Indonesia mencatat nilai sekitar US$ 68 juta. Sementara itu Global Pearl Production Estimates in Value (2010) menyatakan angka perkiraan nilai ekspor mutiara pada tahun 2000  jenis South Sea Pearl sebanyak 4,5 ton (US$ 200 juta). Setiap tahun, produksi mutiara akan terus meningkat. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2010) pada tahun 2005 produksi mutiara mencapai 12 ton, diperkirakan selama periodik 2005-2010 produksi mutiara akan meningkat dari 12 ton menjadi 18 ton pada tahun 2010.

      Indonesia memiliki areal budidaya dan potensi lahan untuk pengembangan budidaya laut, khususnya tiram mutiara yaitu sebesar 62.040 ha, namun pemanfaatannya hanya sebesar 1 % (Sunaryanto, 2002 dalam Hamzah, 2010). Saat ini, dari total produksi mutiara yang ada di pasar internasional sekitar 26 % berasal dari Indonesia. Dilihat  dari potensi perairan  Indonesia, seharusnya produksi mutiara dapat ditingkatkan hinggga 50 % dari porsi pasar internasional (Poernomo, 2010).

      Pada permulaan abad ini, stok tiram mutiara masih melimpah tetapi saat ini sudah sangat kritis karena overfishing, polusi dan  perubahan kondisi habitat (Ramirez, 1992 dalam Widowati et al., 2009). Saat ini di Indonesia untuk memproduksi mutiara sebagian besar menggunakan kerang yang berasal dari hasil budidaya, karena kerang alam sulit ditemukan (Martono, 2010). Jumlah perusahaan yang bergerak di bidang usaha budidaya tiram mutiara di Indonesia sudah cukup banyak, namun yang mempunyai unit pembenihan masih terbatas. Menurut Winanto (2004), dari 65 perusahaan yang ada, diperkirakan hanya sekitar 10 % yang mempunyai unit pembenihan sendiri. Kemudian Nurdjana (2010), menambahkan bahwa pada saat ini jumlah perusahaan yang bergerak di bidang produksi mutiara mengalami peningkatan menjadi 71 perusahaan.

     Seiring dengan pesatnya laju perkembangan kegiatan usaha budidaya tiram mutiara, maka kebutuhan benihpun semakin meningkat yang memenuhi syarat, baik jumlah, kualitas, maupun ukurannya. Terbatasnya jumlah benih yang diperlukan jelas akan menimbulkan kesenjangan produksi mutiara (Winanto, 2004). Oleh karena itu sangatlah bijaksana apabila benih tiram mutiara tersebut diupayakan melalui pembenihan buatan (hatchery). Dengan cara demikian kesinambungan produksi mutiara akan terjamin.

     Kelancaran dan kesinambungan aktivitas usaha pembenihan yang dilakukan oleh suatu perusahaan tidak dapat dilepaskan dari aspek finansial, karena suatu usaha dapat dikatakan sehat apabila dapat memberikan keuntungan yang layak dan mampu memenuhi kebutuhan finansialnya. Salah satu cara untuk mengendalikan aspek ini adalah dengan melakukan suatu analisa usaha, dimana dengan dilakukannya analisis usaha ini, pengusaha dapat menentukan tindakan untuk memperbaiki dan meningkatkan keuntungan dalam perusahaannya.


...


 





Penulis
ARIEF RAHMAN HAKIM, S.ST.PI
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar